Jumat, 25 Mei 2012

Wajibnya Menahan Lisan (Tidak Ikut Campur) Dalam Perselisihan Yang Terjadi Antara Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam – Prof.Dr.Ibrahim bin Amir ar-Ruhaily


Diantara prinsip dasar yang mulia dijelaskan oleh ulama salaf dan yang diikuti oleh para imam yang datang sesudah mereka serta yang dipegang oleh seluruh Ahlus Sunnah adalah: Menahan lisan (tidak ikut campur) tentang perselisihan yang terjadi antara sahabat —semoga Allah meridhai mereka semua-, mendoakan kerahmatan bagi mereka, mencintai dan tidak menyebut mereka kecuali dengan pujian yang baik lagi indah, sebagaimana yang terdapat dalam perkataan salaf dan para ulama yang datang sesudah mereka.
Dari Umar bin Abdul Aziz rahimahullah tatkala beliau ditanya tentang Ali dan Utsman dalam (perang) Shiffiin dan apa yang terjadi antara mereka, beliau menjawab, “Itu adalah pertumpahan darah yang Allah selamatkan (bersihkan) tanganku dari ikut campur di dalamnya, maka aku tidak suka untuk mengikutsertakan lisanku dalam kejadian tersebut.”[1]
Imam Ahmad rahimahullah, ditanya: “Bagaimana pendapatmu tentang perselisihan yang terjadi antara Ali dan Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu?” beliau menjawab, “Tiada yang bisa saga katakan dalam hal itu kecuali yang terbaik.”[2]
Imam Abul Hasan al-Asy’ari rahimahullah berkata, “Adapun yang terjadi antara Ali dan Az-Zubair bersama A’isyah hanya berdasarkan ta’wil dan ijtihad, Ali adalah seorang imam dan semua mereka adalah ahlul ijtihad (orang yang berhak berijtihad) dan semuanya telah disaksikan (dijamin) oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, masuk surga, maka ini menjelaskan bahwasanya mereka se­muanya benar dalam ijtihad tersebut.
Begitu juga yang terjadi antara Ali dan Mu’awiyah berdasarkan ta’wil dan ijtihad, dan seluruh sahabat adalah para imam yang terpercaya (jujur) tidak diragukan agama mereka, karena Allah dan Rasul-Nya telah memuji mereka secara keseluruhan, dan memerintahkan kita untuk menghormati, memuliakan dan mencintai mereka dan berlepas diri dari setiap orang yang mencela salah seorang dari mereka. [3]
Dan Imam AI-Muzani rahimahullah —tatkala menjelaskan aqidah Ahlus Sunnah tentang sahabat- beliau berkata, “Disampaikan keutamaan mereka serta disebutkan dengan amalan-amalan mereka yang baik, dan kita menahan (lisan) dari ikut campur dalam perselisihan yang terjadi antara mereka, karena mereka adalah manusia yang terbaik sesudah Nabi mereka, [4] Allah te­lah meridhai mereka sebagai (sahabat) Nabi-Nya, serta menciptakan mereka sebagai penolong/pejuang agama-Nya, mereka adalah para imam dalam agama ini dan para ulama kaum muslimin —semoga Allah merahmati mereka seluruhnya-.[5]
Imam Al-Barbahari rahimahullah berkata, “Apabila kamu melihat seseorang mencela salah seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maka keta­huilah bahwa ia adalah orang yang memiliki perkataan jelek dan (pengikut) hawa nafsu, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Apabila disebut para sahabatku maka tahanlah (lisan) kalian “[6]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengetahui kesalahan yang akan muncul dari mereka sesudah beliau wafat,[7] akan tetapi be­liau tidak mengatakan tentang mereka kecuali kebaikan.
Janganlah kamu membicarakan sedikitpun tentang ke­salahan dan peperangan mereka dan apa yang tidak kamu ketahui tentangnya, dan janganlah kamu dengarkan seseorang membicarakan hal itu, karena (tidak ada jaminan) hatimu akan bisa selamat tatkala mendengarnya.” [8]
Imam Ibnu Baththah rahimahullah dalam menjelaskan aqidah Ahlus Sunnah berkata, “Dan sesudah itu kita menahan lisan tentang perselisihan yang terjadi antara sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mereka telah menyaksikan peperangan bersama beliau, dan orang yang lebih awal meraih kemuliaan, sungguh Allah telah mengampunkan (dosa) mereka dan memerintahkan kamu untuk istighfar (minta ampunan) bagi mereka serta mendekatkan diri kepada Allah dengan mencintai mereka, hal itu telah di­wajibkan oleh Allah lewat lisan Nabi-Nya sedang la mengeta­hui apa (kesalahan) yang akan muncul dari mereka dan akan terjadi peperangan di antara mereka.”[9]
Imam Abu Utsman ash-Shabuni rahimahullah -tatkala menjelas­kan aqidah salaf- berkata: “Dan mereka menyakini (wajibnya) menahan lisan tentang perselisihan yang terjadi antara sahabat
Rasulullah dan membersihkan lisan dari membicarakan sesuatu yang mengandung tudingan dan celaan tehadap mereka. Dan mereka (salaf) menyakini (wajibnya) meminta kerahmatan atas seluruh para sahabat dan mencintai mereka.”[10]
Imam Ibnu Abi Zaid al-Qairawaani rahimahullah tatkala menjelas­kan hak-hak yang wajib dilakukan terhadap para sahabat- beliau berkata, “Tidak boleh disebut salah seorang dari sahabat Ra­sulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kecuali dengan ungkapan yang terbaik, dan (wajib­nya) menahan lisan tentang perselisihan yang terjadi antara mereka, kerena mereka orang yang lebih pantas untuk dicari (diterima) alasannya dan berbaik sangka terhadap mereka.” [11]
Imam Abu ‘Amr ad-Dani rahimahullah -tatkala menjelaskan per­kataan Ahlus Sunnah dalam aqidah- beliau berkata, “Dan di­antara perkataan (aqidah) mereka adalah: Mengungkapkan perkataan yang balk tentang para sahabat Nabi yang mulia, menyebutkan keutamaan-keutamaan mereka, menebarkan ke­baikan-kebaikan mereka dan menahan lisan tentang perselisi­han yang terjadi antara mereka.” [12]
Imam Qawamus Sunnah al-Ash Bahani rahimahullah berkata, “Dan apa yang terjadi antara Ali dan Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhum salaf mengatakan: merupakan sunnah adalah diam (tidak ikut campur) tentang perselisihan yang terjadi antara sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” [13]
Imam Ibnu Qudamah berkata, “Diantara sunnah adalah: berwala’ kepada sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mencintai mereka, menyebutkan kebaikan-kebaikan mereka, meminta rahmat dan ampunan untuk mereka, menahan lisan dari me­nyebut kesalahan dan perselisihan yang terjadi antara mereka dan menyakini keutamaan mereka serta mengetahui bahwa mereka orang yang lebih dahulu (dalam meraih keutamaan dan memperjuangkan agama –pen).” [14]
Imam An-Nawawi rahimahullah tatkala mensyarah hadits, “Apabila dua orang muslim berperang dengan pedangnya (senjatanya), maka yang membunuh dan yang terbunuh (keduanya) masuk neraka.”[15]
Beliau berkata, “Ketahuilah bahwa pertumpahan darah yang terjadi antara sahabat tidak termasuk ke da­lam ancaman ini. Dan madzhab Ahlus Sunnah yang benar (dalam hal ini) adalah: berbaik sangka terhadap mereka, menahan (lisan) tentang perselisihan yang terjadi antara mereka, menta’wil peperangan mereka (kepada tujuan yang baik) karena mereka berijtihad dan menta’wil dan tidak bermaksud melakukan maksiat semata-mata menginginkan dunia, bahkan masing-masing dari mereka menyakini dialah yang benar sementara yang menyelisihinya melampaui batas (melakukan kesalahan) maka wajib diperangi agar kembali kepada perintah Allah. Se­bagian mereka benar dan sebagian yang lain salah dan dimaafkan.”[16]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan aqidah Ahlus Sunnah seraya berkata, “Dan mereka menahan lisan (tidak ikut campur) tentang perselisihan yang terjadi antara sahabat dan mengatakan: bahwa atsar-atsar (hadits-hadits) yang diri­wayatkan tentang keburukan (kesalahan) mereka diantaranya ada yang palsu, dan diantaranya ada yang telah ditambah dan dikurangi serta diselewengkan dari yang sebenarnya, sedangkan yang shahih daripadanya mereka dalam hal tersebut mempunyai uzur, baik dikarenakan mereka berijtihad dan benar (dalam ijtihadnya) atau berijtihad dan salah (dalam ijtihadnya).”[17]
Perkataan para ulama tentang permasalahan ini banyak sekali, sehingga sulit untuk dikumpulkan (secara keseluru­han), akan tetapi saya hanya menyebutkan sebagian saja, hal ini menunjukkan kepada ijma’ Ahlus Sunnah dalam menjelas­kan prinsip dasar yang mulia ini, dan barangsiapa yang berbi­cara tentang hal ini dan masuk ke dalamnya dengan menye­butkan sedikit dari perselisihan dan perperangan yang terjadi antara sahabat dengan maksud celaan dan penghinaan terhadap mereka, maka sungguh ia telah menyelisihi manhaj salaf dan jalan Ahlus Sunnah.
Kita berdoa semoga Allah ‘Azza wa Jala membimbing kita untuk mengikuti dengan baik jalannya para salaf, dan menghiasi diri kita dengan adab yang mulia terhadap para sahabat Nabi serta mengumpulkan kita bersama golongan mereka pada hari kiamat kelak.
FOOT NOTE:
[1] Dikeluarkan oleh Ibnu Sa’ad dalam Ath-Thabaqaat (5/307) Dan lihat As-Sunnah, Al-Khallal (1/62).
[2] Dikeluarkan oleh Al-Khallal dalam as-Sunnah (1/460)
[3] Al-lbanah ‘an Ushul ad-Diyanah (hal: 224, 225).
[4] Maksudnya: mereka adalah manusia terbaik sesudah Nabi mereka dari kalangan umat ini, bukan seluruh umat, sebab di kalangan umat-umat yang tedahulu ada para Nabi dan Rasul, dan mereka lebih mulia dari para sahabat berdasarkan nash dan ijma’ salaf.
[5] Syarhus Sunnah (ha 1: 86).
[6] Dikeluarkan oleh Ath-Thabraani dalam ”AI-Kabiir” dari hadits Abdullah bin Mas’ud (10/198) (no. 448) dan Abu Nu’aim dalam ‘Al-Hilyah” (4/108) Dan dihukumi oleh Allamah Al-Albani sebagai hadits shahih dengan kumpulan Thuruq-nya dalam As-Silsilah as-Shahihah (no.34).
[7] Maksudnya: Berdasarkan wahyu yang Allah sampai kepada beliau, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan tentang peperangan yang terjadi antara sahabat, seperti pengabaran beliau tentang Hasan bin Ali bahwa Allah akan mendamaikan antara dua golongan dari kaum muslimin. Dikeluarkan oleh Al-Bukhari (no:3746) dan hadits-hadits yang lain yang menjelaskan bahwa Allah mengabarkan kepada Nabi-Nya tentang peperangan yang terjadi antara sahabat –semoga Allah meridhai me­reka semua-.
[8] Syarhus Sunnah (hal:115).
[9] Al-lbanah ash Shugrah (hal:268).
[10] Aqidah as-salaf wa ashhabil hadits (hal:294).
[11] Muqaddimah Ibnu Abi Zaid (hal: 61).
[12] Ar-Risalah al-Waafiyah (hal: 237).
[13] Al-Hujjah fi bayanil Mahajjah (2/526).
[14] Lum’atul I’tiqaad (hal: 66).
[15] Dikeluarkan oleh Muslim dalam Shahihnya (4/3213) (no. 2888).
[16] Syarh Shahih Muslim (18/11).
[17] Al-Aqidah al-Wasithiyah (hal:120).
Sumber: Disalin ulang dari buku “Aqidah Ahlus Sunnah  Vs Ahlul Bid’ah Tentang Sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam”, Prof.Dr.Ibrahim bin Amir ar-Ruhaily, Hal.35-41, Penerbit Darul Ilmi Publishing, Cet.Pertama, Penerjemah: Ustadz Dr.Muhammad Nur Ihsan, MA.

AWAS BAHAYA SYIAH RAFIDHAH!!!

0 komentar:

Posting Komentar