Jumat, 04 Mei 2012

Adab Membaca Al-Qur'an



بسم الله الرحمن الرحيم
Adab Membaca Al Qur'an
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari Kiamat, amma ba’du:
Berikut ini beberapa adab yang perlu diperhatikan ketika hendak membaca Al Qur'an, semoga Allah menjadikan risalah ini ikhlas karena-Nya dan bermanfaat, Allahumma aamiin.
1.          Memiliki niat yang ikhlas karena mengharap keridhaan Allah dalam membaca dan mempelajarinya, bukan untuk mendapatkan dunia, bukan karena harta, kedudukan, juga bukan agar dimuliakan oleh kawan-kawan. Orang arif mengatakan, “Ikhlas itu membersihkan amal dari perhatian makhluk.”
2.          Dianjurkan menggosok giginya baik dengan siwak maupun sikat gigi lainnya. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الْعَبْدَ إِذَا قَامَ يُصَلِّي أَتَاهُ الْمَلَكُ فَقَامَ خَلْفَهُ يَسْتَمِعُ الْقُرْآنَ وَيَدْنُوْ، فَلاَ يَزَالُ يَسْتَمِعُ وَيَدْنُوْ حَتَّى يَضَعَ فَاهُ عَلَى فِيْهِ فَلاَ يَقْرَأُ آيَةً إِلاَّ كَانَتْ فِي جَوْفِ الْمَلَكِ
"Sesungguhnya seorang hamba apabila berdiri shalat, maka malaikat mendatanginya dan berdiri di belakangnya mendengarkan Al Qur'an dan mendekatinya. Ia terus mendengarkan dan mendekati sampai meletakkan mulutnya di mulut orang itu. Oleh karena itu, tidaklah ia membaca Al Qur'an melainkan ayat itu ada dalam diri malaikat." (HR. Baihaqi dalam Al Kubra 1/38, Adh Dhiyaa' dalam Al Mukhtaarah (1/201), lihat Ash Shahiihah no. 1213)
3.          Sebaiknya ia membaca Al Qur’an dalam keadaan suci, baik suci dari hadats kecil maupun dari hadats besar.
4.          Hendaknya membaca Al Qur’an di tempat yang suci seperti di masjid dan di rumah. Oleh karena itu, banyak para ulama yang menganjurkan membacanya di masjid karena di masjid menggabung antara tempat yang bersih dan utama. Demikian juga hendaknya ia tidak membacanya di tempat yang kotor atau di tempat yang biasanya bacaannya tidak didengarkan dan diperhatikan.
5.          Sebaiknya duduk menghadap kiblat dengan sikap tenang, khusyu dan sopan. Namun jika ia membacanya dalam keadaan berdiri atau berbaring, maka diperbolehkan berdasarkan perkataan Aisyah radhiyallahu 'anha, “Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam membaca Al Qur’an, sedangkan kepala Beliau di pangkuanku.” (HR. Bukhari)
6.          Hendaknya memulai dengan membaca isti’adzah (A’uudzu billahi minasy syaithaanir rajiim) sebagaimana yang difirmankan Allah Ta'ala di surah An Nahl: 98[i]. Demikian pula hendaknya ia memulai dengan basmalah pada setiap awal surah selain surah At Taubah atau Al Baraa’ah. Apabila kita membaca di tengah surat, maka kita boleh membaca basmalah, boleh juga tidak.
7.          Hendaknya membacanya dengan khusyu’ dan mentadabburinya, dan disukai mengulang sebagian ayat untuk tujuan tadabbur sebagaimana Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mengulangi ayat “In tu’adzdzib-hum fa innahum ‘ibaaduk” (Al Maa’idah: 118) sampai pagi hari (Lihat Shifatu Shalatin Nabi oleh Syaikh Al Albani hal. 121 cet. Maktabah Al Ma'arif).
8.          Hendaknya membacanya dengan tartil (tidak cepat dan jelas huruf-hurufnya), karena hal ini membantunya untuk mentadabburi maknanya.
9.          Dianjurkan memperbagus suara semampunya ketika membaca Al Qur’an. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
زَيِّنُوا الْقُرْآنَ بِأَصْوَاتِكُمْ فَإِنَّ الصَّوْتَ الْحَسَنَ يَزِيْدُ الْقُرْآنَ حُسْنًا
          “Hiasilah Al Qur’an dengan suaramu, karena suara yang bagus menambah bagus Al Qur’an.” (HR. Hakim, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jaami’ no. 3581)
10.      Hendaknya ia menghadirkan hati, mentadabburi (memikirkan) kandungan Al Qur’an, memperhatikan setiap ‘ibrah (pelajaran) dan merasakan ke dalam hati wa’d (janji) dan wa’id (ancaman) yang disebutkan dalam Al Qur’an. Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman:
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ أَمْ عَلَى قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا   
          “Maka Apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran ataukah hati mereka terkunci?” (QS. Muhammad: 24)
          Ibrahim Al Khawaash berkata, “Obat (hati) itu terletak pada lima perkara; membaca Al Qur’an dengan mentadabburi maknanya, mengosongkan perut (berpuasa), qiyamul lail, bertadharru’ (merendahkan diri kepada Allah dan berdoa) di waktu sahur dan bergaul dengan orang-orang saleh.”
11.      Hendaknya ketika sampai pada ayat rahmat, ia meminta kepada Allah Subhaanahu wa Ta'aala karunia-Nya, dan ketika sampai pada ayat azab, ia meminta perlindungan kepada Allah Subhaanahu wa Ta'aala darinya.
عَنْ حُذَيْفَةَ قَالَ صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم ذَاتَ لَيْلَةٍ فَافْتَتَحَ الْبَقَرَةَ فَقُلْتُ يَرْكَعُ عِنْدَ الْمِائَةِ . ثُمَّ مَضَى فَقُلْتُ يُصَلِّى بِهَا فِى رَكْعَةٍ فَمَضَى فَقُلْتُ يَرْكَعُ بِهَا . ثُمَّ افْتَتَحَ النِّسَاءَ فَقَرَأَهَا ثُمَّ افْتَتَحَ آلَ عِمْرَانَ فَقَرَأَهَا يَقْرَأُ مُتَرَسِّلاً إِذَا مَرَّ بِآيَةٍ فِيهَا تَسْبِيحٌ سَبَّحَ وَإِذَا مَرَّ بِسُؤَالٍ سَأَلَ وَإِذَا مَرَّ بِتَعَوُّذٍ تَعَوَّذَ ثُمَّ رَكَعَ فَجَعَلَ يَقُولُ « سُبْحَانَ رَبِّىَ الْعَظِيمِ »
          Dari Hudzaifah ia berkata, “Aku pernah shalat bersama Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pada suatu malam, lalu Beliau memulai dengan surah Al Baqarah. Aku berkata (dalam hati), “Mungkin Beliau akan ruku’ pada ayat ke-100,” ternyata Beliau melanjutkannya, maka aku berkata (dalam hati), “Mungkin Beliau akan ruku’ setelah selesai satu surah,” ternyata Beliau melanjutkan dengan surah An Nisaa’ dan menyelesaikannya, kemudian melanjutkan dengan surah Ali Imran, Beliau membacanya dengan perlahan. Ketika sampai pada ayat yang di sana terdapat (perintah) bertasbih, maka Beliau bertasbih, dan ketika sampai sampai pada ayat yang terdapat permintaan, maka Beliau meminta. Ketika sampai pada ayat yang di sana butuh perlindungan, maka Beliau berlindung, kemudian Beliau ruku’ dan membaca, “Subhaana Rabbiyal ‘Azhiim.” (HR. Muslim)
12.      Hendaknya ia menjauhi tertawa, ribut/gaduh dan obrolan, kecuali ucapan yang sangat dibutuhkan. Hal ini berdasarkan riwayat, bahwa Ibnu Umar apabila membaca Al Qur’an tidak melakukan pembicaraan sampai selesai membaca ayat yang hendak ia baca.
13.      Ketika dibacakan Al Qur’an hendaknya diam, tidak melakukan obrolan, lihat QS. Al A'raaf: 204.
14.      Menjahar(keras)kan suaranya apabila tidak mengganggu orang lain adalah lebih utama, karena manfaatnya mengena kepada orang lain, sedangkan manfaat yang dapat mengena kepada orang lain lebih utama daripada yang manfaatnya untuk diri sendiri. Di samping itu, hal tersebut dapat membangkitkan semangat orang yang membaca, membuatnya tetap ingat dan jaga (tidak tidur) serta dapat mengalihkan pendengarannya. Hal ini juga berdasarkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam:
« مَا أَذِنَ اللَّهُ لِشَىْءٍ مَا أَذِنَ لِنَبِىٍّ حَسَنِ الصَّوْتِ يَتَغَنَّى بِالْقُرْآنِ يَجْهَرُ بِهِ » .  
          “Allah Subhaanahu wa Ta'aala tidaklah mendengarkan sesuatu seperti yang didengar-Nya dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang bagus suaranya, ia memperbagus suara dalam membaca Al Qur’an dan mengeraskannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
          Namun jika ia khawatir riya’, maka dalam keadaan seperti ini mensir(pelan)kan lebih utama.
15.      Hendaknya ia tidak mengeraskan bacaan Al Qur'an ketika di dekatnya ada yang sedang shalat agar tidak mengganggu shalatnya. Hal itu, karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam suatu ketika pernah keluar mendatangi beberapa orang yang sedang shalat, dimana yang satu dengan yang lain saling mengeraskan bacaannya, lalu Beliau bersabda:
إِنَّ الْمُصَلِّي يُنَاجِي رَبَّهُ فَلْيَنْظُرْ بِمَا يُنَاجِيْهِ بِهِ وَلاَ يَجْهَرْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ فِي الْقُرْآنِ
          "Sesungguhnya orang yang shalat sedang bermunajat kepada Tuhannya, maka hendaknya ia memperhatikan apa munajatnya, dan jangalah satu sama lain saling mengeraskan Al Qur'annya." (HR. Malik, Ibnu Abdil Bar berkata, "Ia adalah hadits shahih.")
16.      Hendaknya tidak membaca dalam kondisi mengantuk.
17.      Ketika sampai pada ayat sajdah, hendaknya ia sujud sebagaimana yang dilakukan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.
18.      Hendaknya tidak menulis Al Qur’an di dinding-dinding, karena Al Qur’an tidaklah diturunkan untuk menghiasi dinding atau tembok.
19.      Membaca Al Qur’an dengan melihat mushaf lebih utama daripada dengan hapalan, karena yang demikian dapat lebih memperhatikan. Imam As Suyuthiy rahimahullah berkata, “Membaca dari mushaf lebih utama daripada membaca dengan hapalan, karena melihat (ayat-ayat)nya merupakan ibadah yang dituntut.” (Al Itqan 1/304).
20.      Hendaknya ia memuliakan Al Qur’an. Oleh karena itu, hendaknya ia tidak meletakkannya di lantai, tidak menyerahkan kepada orang lain dengan cara melemparnya, dan tidak menyentuhnya dalam keadaan berhadats, terutama hadats besar.
21.      Hendaknya ia tidak mengkhatamkan Al Qur’an kurang dari tiga hari. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَفْقَهُهُ مَنْ يَقْرَؤُهُ فِي أَقَلِّ مِنْ ثَلَاثٍ
“Tidak akan paham orang yang mengkhatamkannya kurang dari tiga hari.” (HR. Ahmad, dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami' no. 1157)
Faedah:
Setelah membaca Al Qur’an, kami belum mendapatkan dalil yang menganjurkan mengucapkan “Shadaqallahul ‘azhiim.” Oleh karena itu hendaknya seseorang bertawaqquf (diam) menunggu dalil yakni dengan tidak mengerjakan demikian, karena beramal harus di atas dalil.
Wallahu a’lam, wa shallallahu ‘alaa nabiyyinaa Muhammad wa ‘alaa aalhihi wa shahbihi wa 

0 komentar:

Posting Komentar