Minggu, 22 Desember 2019

SEJARAH ZAKAT

Zaman Nabi Musa AS
Saat zaman nabi Musa AS, zakat terlebih dahulu di syariatkan walaupun belum secara rinci dan jelas dan hanya diwajibkan zakat bagi binatang ternak. Dari segi sejarah, menurut Nuruddin Mhd. Ali, “kewajiban zakat telah disyariatkan kepada para nabi dan rasul sebagaimana telah dilaksanakan oleh Nabi Ibrahim as. dan Nabi Ismâ’il as. Bahkan terhadap Bani Israil, umat Nabi Mûsâ as. syarî’ah zakat telah diterapkan. Demikian pula terhadap umat Nabi Isa As. ketika Isa As. masih dalam buaian. Ahli kitab juga diperintahkan untuk menunaikan zakat sebagai salah satu instrumen agama yang hanîf (lurus).
Tahun 2 hijriah
Pada tahun 2 hijriah zakat baru disyariatkan meskipun didalam ayat ayat makiyah zakat sudah banyak disinggung secara garis besar. Di tahun tersebut zakat fitrah diwajibkan pada bulan Ramadhan, sedangkan zakat mal diwajibkan pada bulan berikutnya, Syawal. Jadi, mula-mula diwajibkan zakat fitrah kemudian zakat mal atau kekayaan.
Firman Allah SWT surat Al-Mu'minun ayat 4: ''Dan orang yang menunaikan zakat''. Kebanyakan ahli tafsir berpendapat bahwa yang dimaksud dengan zakat dalam ayat di atas adalah zakat mal atau kekayaan meskipun ayat itu turun di Makkah. Padahal, zakat itu sendiri diwajibkan di Madinah pada tahun ke-2 Hijriah. Fakta ini menunjukkan bahwa kewajiban zakat pertama kali diturunkan saat Nabi SAW menetap di Makkah, sedangkan ketentuan nisabnya mulai ditetapkan setelah Beliau hijrah ke Madinah.
Saat nabi Muhammad SAW di Mekkah
Pada saat nabi Muhammad masih di Mekkah, kewajiban yang menyangkut harta kekayaan kaum muslim adalah sedekah.
Dalam sejarah perundang undangan islam, zakat baru diwajibkan di Madinah, tetapi mengapa Qur’an membicarakan hal itu dalam ayat ayat yang begitu banyak dalam surah-surah yang turun dimekah?
Jawaban pertanyaan ini adalah bahwa zakat yang termaktub di dalam surat-surat yang turun di Mekkah itu tidaklah sama dengan zakat yang diwajibkan di Madinah, di mana nisab dan besarnya sudah ditentukan, orang-orang yang mengumpulkan dan membagikan nya sudah diatur, dan negara bertanggung jawab mengelolanya.
Tetapi zakat di Makkah adalah zakat yang tidak ditentukan batas dan besarnya, tetapi diserahkan saja kepada rasa iman kemurahan hati dan perasaan tanggung jawab seseorang atas orang lain sesama orang-orang yang beriman. Sedikit sudah memadai tetapi bila kebutuhan menghendaki, zakat itu bisa lebih banyak atau lebih banyak lagi dari itu.
Sebagian ahli ada yang menarik kesimpulan dari pertanyaan-pertanyaan Quran dalam surat surat yang turun di Mekah- seperti haqqahu ‘hak kerabat’, haq li al-Sail wa al-Mahrum ‘hak-hak peminta-minta dan orang-orang yang tak punya’, haq ma’lum ‘hak yang sudah ditentukan’ - bahwa nabi diduga Sudah menentukan besar zakat berbagai kekayaan orang-orang yang mampu.
Tetapi orang-orang itu tidak mengemukakan sesuatu yang dapat menguatkan dugaan mereka itu, bahkan mengemukakan hal-hal yang menjatuhkan. Kebutuhan waktu itu sesungguhnya belum memerlukan besar zakat ditentukan, karena orang-orang Islam sudah mengorbankan diri dan seluruh kekayaan mereka. Berapa besar hak orang lain belum dirasakan perlu ditentukan oleh Rasulullah SAW., tetapi cukuplah ditentukan sendiri oleh pemberi atau kebiasaan yang berlaku sesuai dengan kebutuhan saat itu. Demikianlah pendapat ahli ahli tafsir.
Ibnu Katsir berkata ketika menerangkan tafsir ayat Al Quran, surah al-mu'minun : Dan mereka yang melaksanakan zakat, sebagai berikut, “Kebanyakan ahli tafsir berpendapat bahwa yang dimaksud dengan zakat disini adalah zakat kekayaan, walaupun ayat yang turun di Mekah. Tetapi menunjukkan bahwa zakat yang diwajibkan di Madinah, pada tahun 2 H. Fakta menunjukan bahwa zakat yang mempunyai nisab dan besar tertentu. Bila tidak demikian maka berarti zakat diwajibkan pertama kali di Makkah. Allah berfirman dalam Qur’am, surah al-an’am yang turun di Mekah : bayarlah oleh kalian haknya waktu memetik hasilnya. apa yang ditemukannya yaitu sesuai sekali dengan banyak ayat yang di kita sebutkan terdahulu.
Zakat pada periode Madinah
Pada periode Madinah mereka sudah merupakan jamaah yang memiliki daerah, eksistensi, dan pemerintahan sendiri.
Hal itu mengakibatkan penerapannya memerlukan kekuasaan di samping didasarkan atas perasaan Iman tersebut. Kecenderungan itu terlihat pula pada penerapan zakat : Tuhan menegaskan kekayaan apa yang harus dikeluarkan zakatnya, syarat-syarat terkena hukum wajib, besarnya, sasaran-sasaran pengeluarannya, dan badan yang bertugas mengatur dan mengelolanya.
Ayat-ayat yang diturunkan di Madinah menegaskan zakat itu wajib dalam bentuk perintah yang tegas dan instruksi pelaksanaannya yang jelas. Di dalam Quran, Surat al-baqarah misalnya, terdapat pernyataan berikut : Dirikanlah oleh kalian shalat dan bayarlah zakat. Juga terdapat berbagai bentuk pernyataan dan ungkapan yang menegaskan wajibnya zakat tersebut.
Zakat pada zaman Rasulullah
Zaman Rasulullah, zakat adalah salah satu sumber pendapatan negara, sehingga negara mempunyai kewajiban untuk menghitung zakat para warga negara serta mengumpulkannya. Nabi dan para khalifah Al-Rasyidun membentuk badan pengumpul zakat, untuk kemudian mengirim para petugasnya mengumpulkan zakat dari mereka yang ditetapkan sebagai wajib zakat.
Struktur amil zakat, yang terdiri dari:
Katabah : Petugas yang mencatat para wajib zakat,
 Hasabah : Petugas yang menaksir, menghitung zakat,
Jubah : Petugas yang menarik, mengambil zakat dari para muzakki,
Khazanah :Petugas yang menghimpun dan memelihara harta, dan
Qasamah :Petugas yang menyalurkan zakat pada mustahiq (orang yang berhak menerima     zakat
Saat itu zakat juga menjadi salah satu sumber pokok pendapatan negara yang berasal dari umat Islam, selain ushr dan jizyah. Ushr adalah pendapatan Negara yang berasal dari umat lain (kafir dzimmi), sedangkan jizyah adalah pajak yang dibayarkan oleh orang non-muslim khususnya ahli kitab, untuk jaminan perlindungan jiwa, properti, ibadah, bebas dari nilai-nilai dan tidak wajib militer. Khusus pendapatan yang berasal dari zakat hanya diperuntukkan bagi kelompok yang telah ditetapkan dalam surat At-Taubah ayat 60.
Lima kekayaan yang wajib di zakati pada zaman Rasulullah :
1. Uang
Sesungguhnya kepentingan uang adalah untuk bergerak dan beredar, maka dimanfaatkan oleh orang-orang yang mengedarkannya menggunakannya sebagai nilai tukar. Kewajiban zakat jika sampai nisab bagi pemilik uang baik dikembangkan atau dibiarkan atau tidak merupakan langkah konkrit yang patut diteladani.
Jumlah uang yang dizakatkan : Sebagaimana telah menjadi kesepakatan kaum muslimin atas kewajiban zakat uang maka mereka pun bersepakat atas ukuran kewajiban pengeluaran zakatnya disebutkan dalam Al Mughni perbedaan pendapat ulama bahwa zakat emas dan perak adalah 2 1/2% seperti yang telah ditetapkan dalam hadis rasulullah pada riqqah 2 1/2%
2. Barang dagangan
Dari segi analogi (qias), sebagaimana dinyatakan oleh Ibnu Rusyd, harta benda yang diperdagangkan adalah kekayaan yang dimaksudkan untuk dikembangkan, karena hal ini sama statusnya dan dengan tiga jenis kekayaan yang disepakati wajib zakat, yaitu tanaman, ternak, emas, dan perak. Sedangkan dari segi pandangan dan asumsi yang berdasarkan prinsip-prinsip dan jiwa ajaran Islam yang integral itu, maka kekayaan dagang yang diinvestasikan sama artinya dengan uang, tidak ada bedanya dengan uang rupiah dan Dolar nilainya, terkecuali apabila nilai uangnya berbeda dengan yang diberi nilai, yaitu barangnya. Seandainya zakat tidak diwajibkan atas perdagangan, maka akan sangat banyak orang-orang kaya yang akan berdagang karena banyak uang tetapi kekayaan mereka tidak akan sampai nisabnya dan dengan demikian tidak akan terkena kewajiban zakat.
Sesungguhnya orang yang paling membutuhkan pembersihan diri dan kekayaan adalah para pedagang, oleh karena usaha mencari rezeki yang mereka lakukan diyakini tidak akan bersih dari berbagai macam penyimpangan dan keteledoran, terkecuali orang-orang yang betul-betul jujur dan suci, tetapi mereka itu sedikit sekali terutama pada zaman sekarang.
3. Hasil pertanian
Bila zakat tanaman dan buah-buahan wajib berdasarkan Quran, hadits, dan logika, sebagaimana ditegaskan para ulama, maka timbul pertanyaan tentang hasil pertanian apa saja yang terkena kewajiban zakat sebesar 10% atau 5% tersebut, semuanya ataukah sebagian saja, bila sebagian apa yang termasuk kedalamnya, dan apa landasannya.
Zakat ini berbeda dari zakat kekayaan kekayaan yang lainnya, seperti ternak, uang, dan barang barang dagang. Perbedaan itu adalah bahwa zakat nya tidak tergantung dari berlalunya tempo 1 tahun, oleh karena benda yang dizakatkan itu merupakan produksi atau hasil yang diberikan oleh tanah, artinya bila produksi itu diperoleh, yang merupakan wajibnya zakat. Dalam istilah modern sekarang, zakat itu merupakan pajak produksi yang diperoleh dari eksploitasi tanah. Sedangkan zakat atas kekayaan kekayaan yang lain merupakan pajak yang dikenakan atas modal atau pokok kekayaan itu sendiri, berkembang atau tidak berkembang.
4. Buah buahan
Terdapat beberapa hadits shohih yang menyebutkan bahwa besar satu nisab biji-bijian dan buah-buahan adalah 5 wasaq, dan para ulama sepakat bahwa 1 wasaq adalah 60 sha'. Dengan demikian 5 wasaq = 300 sha'. Sebuah hadits marfu menyebutkan hal itu, 1 wasaq adalah 60 sha', tetapi hadits itu dhaif. Jumlah ini berdasarkan ijma' yang dilakukan oleh Ibnu mundzir dan lain-lain.
5. Rikaz
rikaz berarti harta zaman jahiliyah berasal dari non muslim yang terpendam yang diambil dengan tidak disengaja tanpa bersusah diri untuk menggali, baik yang terpendam berupa emas, perak atau harta lainnya.
Zakat Pada Masa Sahabat
Untuk dapat mengetahui dengan lebih jelas pola operasional aplikasi dan implementasi zakat pada masa sahabat, dapat dilihat dalam periode-periode berikut ini:
Pertama , periode Abu Bakar as-Siddiq ra. Pengelolaan zakat pada masa Abu Bakar as-Siddiq ra. sedikit mengalami kendala. Pasalnya, beberapa umat muslim menolak membayar zakat. Mereka meyakini bahwa zakat adalah pendapat personal Nabi saw.
Menurut golongan ingkar zakat ini, zakat tidak wajib ditunaikan pasca wafatnya Nabi saw. Pemahaman yang salah ini hanya terbatas di kalangan suku-suku Arab Baduwi. Suku-suku Arab Baduwi ini menganggap pembayaran zakat sebagai hukuman atau beban yang merugikan.
Kedua, periode ‘Umar bin al-Khattab ra.‘Umar ra. adalah salah satu sahabat Nabi saw.. Ia menetapkan suatu hukum berdasarkan realitas sosial. Di antara ketetapan ‘Umar ra. adalah menghapus zakat bagi golongan mu’allaf, enggan memungut sebagian ‘usyr (zakat tanaman) karena merupakan ibadah pasti, mewajibkan kharraj (sewa tanah), menerapkan zakat kuda yang tidak pernah terjadi pada masa Nabi Muhammad saw.
Tindakan ‘Umar ra. menghapus kewajiban zakat pada mu’allaf   bukan berarti mengubah hukum agama dan mengenyampingkan ayat-ayat al-Qur’an. Ia hanya mengubah fatwa sesuai dengan perubahan zaman yang jelas berbeda dari zaman Rasulullah saw. Sementara itu ‘Umar tetap membebankan kewajiban zakat dua kali lipat terhadap orangorang Nasrani Bani Taglab, hal ini disebut zakat muda‘afah.
Zakat muda‘afah itu adalah terdiri dari jizyah (cukai perlindungan) dan beban tambahan. Jizyah sebagai imbangan kebebasan bela negara, kebebasan Hankamnas, yang diwajibkan kepada warga negara muslim. Sedangkan beban tambahannya adalah sebagai imbangan zakat yang diwajibkan secara khusus kepada umat Islam. Umar ra. tidak merasa ada yang salah dalam
menarik pajak atau jizyah dengan nama zakat dari orang-orang Nasrani karena mereka tidak setuju dengan istilah jizyah tersebut. 
Ketiga, periode ‘Usman bin ‘Affan ra. Pengelolaan zakat pada masa ‘Usman dibagi menjadi dua
macam: (1) Zakat al-amwal az-zahirah (harta benda yang tampak), seperti binatang ternak dan hasil bumi, dan (2) Zakat alamwal al-batiniyah (harta benda yang tidak tampak atau tersembunyi), seperti uang dan barang perniagaan. Zakat kategori pertama dikumpulkan oleh negara, sedangkan yang kedua diserahkan kepada masing-masing individu yang berkewajiban mengeluarkan zakatnya sendiri sebagai bentuk self assessment
Keempat, periode ‘Ali bin Abi Talib ra. Situasi politik pada masa kepemimpinan Khalifah ‘Ali ibnAbi Talib ra. berjalan tidak stabil, penuh peperangan dan pertumpahan darah. Akan tetapi, ‘Ali ibn Abi Talib ra. Tetap mencurahkan perhatiannya yang sangat serius dalam mengelola zakat. Ia melihat bahwa zakat merupakan urat nadi kehidupan bagi pemerintahan dan agama. Ketika ‘Ali ibn Abi Talib ra. Bertemu dengan orang-orang fakir miskin dan para pengemis buta yang beragama non-muslim (Nasrani), ia menyatakan biaya hidup mereka harus ditanggung oleh Baitul Mal. Khalifah ‘Ali ibn Abi Talib ra. juga ikut terjun langsung dalam mendistribusikan zakat kepada para mustahiq (delapan golongan yang berhak menerima zakat). Harta
kekayaan yang wajib zakat pada masa Khalifah ‘Ali ibn Abi Talib ra. ini sangat beragam. Jenis barang-barang yang wajib zakat pada waktu itu berupa dirham, dinar, emas dan jenis kekayaan apapun tetap dikenai kewajiban zakat.
Pada zaman Rasulullah, zakat merupakan suatu lembaga negara, sehingga negara mempunyai kewajiban untuk menghitung zakat para warga negara serta mengumpulkan. Nabi dan para khalifah Al-Rasyidin membentuk badan pengumpul zakat, untuk kemudian mengirim para petugasnya mengumpulkan zakat dari mereka yang ditetapkan sebagai wajib zakat. Zakat yang sudah terkumpul tersebut dimasukkan ke baitul mal dan penggunaan zakat itu ditentukan oleh pemerintah berdasarkan ketentuan ketentuan Al-Qur’an dan Hadits.

0 komentar:

Posting Komentar